Setelah menunggu hampir dua tahun sejak September 2019 akhirnya perjuangan panjang Jaksa Penuntut Umum Jampidsus Kejaksaan Agung bersama Kejari Jakarta Pusat dalam melakukan perlawanan / kasasi atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 42/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst. tanggal 16 Agustus 2019 yang melepaskan terpidana Dr. dr. EKA WAHYU KASIH, S.Pd, SH, MH, MM, akhirnya berujung menggembirakan setelah keluarnya Putusan Tingkat Kasasi oleh Mahkamah Agung Nomor : 1542 K/Pid.Sus/2020 Tanggal 22 Juli 2021 yang menyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo Pasal 55 Ayat(1) ke-1 KUHP (dakwaan Subsidiair) dengan menghukum terpidana 10 tahun penjara, pidana denda Rp.200.000.000 serta pidana uang pengganti Rp. 55.058412.000,- sebagaimana siaran
pers yang disampaikan oleh Kasi Intelijen Kejari Jakarta Pusat 27 Desember 2021 saat melakukan eksekusi terhadap terpidana. Sebagaimana di ketahui terpidana EKA WAHYU KASIH selaku Direktur utama PT. Kasih Industri Indonesia (PT KII), bersama sama dengan terdakwa terpisah yaitu BIMO WICAKSONO, GOMPIS LUMBAN TOBING, dan FX. KOESWOJO selaku pihak PT. Pengembangan Armada Niaga Nasional (PT.PANN Persero) Pada Tanggal 25 Maret 2019 oleh Tim Penuntut Umum dari Satgas Tipikor Pidsus Kejagung yang diketuai oleh Dr. Erianto N.SH.MH, dengan tim Muhammad Deniardi SH.MH dkk telah didakwa dengan dakwaan melakukan tindak pidana korupsi dalam kegiatan anjak piutang antara PT. PANN Persero dengan PT. KII milik terpidana sepanjang Juni Tahun 2007 sampai dengan 31 Juli Tahun 2012 dengan cara Terpidana menjual piutang kepada PT. PANN Perserol atas invoice tagihan terhadap PT. Indonesia Power yang belum timbul sebagai anjak piutang, menyerahkan cek kosong sebagai persyaratan pencairan anjak piutang, tidak menyerahkan Standing Instruction untuk auto debet kepada BANK, tidak melaporkan perubahan nomor rekening pelunasan oleh PT. Indonesia Power dan tidak menyetorkan pelunasan PT. Indonesia Power kepada PT. PANN Persero yang bertentangan dengan Keputusan Menteri BUMN Nomor : KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002, Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.012/2006 tanggal 29 September 2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan, Prosedur Pengelolaan Dana No P- KEU-02 No Revisi 1 Tanggal Efektif 01-08-2007, Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, Prosedur Pembiayaan Anjak Piutang No P-USH-05 No Revisi 0 Tanggal efektif 01-06-2010, Peraturan Menteri BUMN Nomor : PER-01/MBU/2011 dan Prosedur Anjak Piutang No P-USH-05 No. Revisi 1 Tanggal Efektif 01-01-2012 sehingga memperkaya terpidana Eka Wahyu Kasih dan perusahaan terpidana PT. KII dengan kerugian negara Rp. 55.058.412.928,- (lima puluh lima milyar lima puluh delapan juta empat ratus dua belas ribu sembillan ratus dua puluh delapan rupiah). Pasal yang didakwakan pada terpidana berupa pasal berlapis Primair Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo Pasal 55 Ayat(1) ke-1 KUHP, Subsidiair: Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo Pasal 55 Ayat(1) ke-1 KUHP.
Menurut Dr. Erianto N yang sejak Februari 2021 lalu sudah dipromosikan menjadi koordinator pada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, pada tingkat pertama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor: 42/Pid.Sus- TPK/2019/PN.Jkt.Pst. Tanggal 16 Agustus 2019 menyatakan terdakwa EKA WAHYU KASIH terbukti melakukan tindak perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana (onslag van gewisde) dan melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum. Tidak terima dengan putusan tersebut Penuntut Umum mengajukan Kasasi karena menilai putusan majelis hakim sangat janggal tidak sesuai dengan fakta-fakta di persidangan, hanya mengambil keterangan yang menguntungkan terpidana dan mengenyampingkan fakta yang terang terungkap di persidangan memberatkan termasuk membenarkan restrukturisasi terhadap perbuatan korupsi yang telah sempurna terjadi menurut undang undang tipikor dan menanggap hanya sekedar perbuatan wan prestasi dalam hukum perdata sehingga penuntut umum menilai hakim tingkat pertama telah memutuskan perkara tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik formil maupun materil.
Lebih lanjut Dr. Erianto N menceritakan pengalaman menyidangkan perkara korpusi dengan modus kegiatan anjak piutang yang mungkin baru pertama diungkap penegak hukum di indonesia dimana saat itu waktu pengirimanan memori kasasi sangat mepet karena putusan hakim tingkat pertama yang sudah diminta resmi langsung beberapa hari setelah putusan dibacakan oleh kejari jakarta pusat namun baru diserahkan dua hari menjelang berakhir masa pengiriman kasasi oleh Panitiera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Disamping itu saat persidangan terpidana menghadirkan Ahli A De Charge (meringankan ) dua orang pakar hukum senior dan ternama dari Universitas Gajah Mada yaitu Prof Nindyo Pramono ahli hukum korporasi dan ahli Prof Oemar
Syarif Hireij ahli hukum pidanayang sekarang menjadi wakil menteri hukum dan ham namun Tim Penuntut umum tetap yakin dengan fakta yang berhasil diungkap selama persidangan dengan alat bukti yang dimiliki terpidana bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan sehingga pandangan kedua ahli tersebut tidak menggoyahkan pendirian dan semangat Penuntut Umum dalam membuktikan perbuatan terpidana. Begitu juga dalam membuat memori kasasi penuntut umum sangat yakin dengan perlawanan yang dilakukan dan memuat detil satu persatu kekelirua-kekeliruan majelis hakim dalam putusan yang tidak sesuai dengan didukung fakta persidangan yang dikemukanan penuntut umum.
Alhamdulillah, keadilan atas perbuatan tindak pidana korupsi terhadap keuangan negara cq PT PANN Persero oleh terpidana yang cukup besar Rp 55 miliar lebih itu akhirnya hampir dua tahun menunggu keluar juga dan sudah seharusnya terpidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kata Dr. Erianto N mengakhiri pengalamannya menyidangkan perkara ini dengan ucapan āBravo Kejaksaanā. (redaksi).