Saudi Arabia,  Salah satu isu penting dalam pembahasan KUHAP baru oleh DPR pengganti UU Nomor 8 Tahun 1981 sekarang adalah terkait peran kejaksaan sebagai pengendali perkara sesuai asas Dominus Litis. Tidak sedikit pihak yang berkeberatan dengan asas dominus litis kejaksaan terutama pihak yang merasa dirugikan oleh gencarnya pengungkapan kasus korupsi besar oleh kejaksaan jauh meninggalkan lembaga lainnya seperti kepolisian dan KPK sehingga memahami asas dominus litis secara keliru menganggap kejaksaan akan mengambil alih kewenangan penyidikan kepolisian selama ini dalam tindak pidana umum terutama dengan beredarnya rancangan KUHAP baru memuat klausula “kejaksaan dapat mengambil alih menindaklanjuti laporan semua perkara bila tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian”. 

Merujuk tulisan salah satu Guru Besar Pidana Universitas Pancasila Jakarta Reda Manthovani menyebut ‘dominus litis’ berasal dari bahasa latin Dominus artinya pemilik sedangkan litis artinya perkara atau gugatan. Black’s Law Dictionary menerjemahkan dominus litis sebagai: “The party who makes the decisions in a lawsuit, usually as distinguished from the attorney”. Dominus litis, menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain Penuntut Umum yang bersifat absolut dan monopoli. 

Tulisan terkait “Peran Penting Kejaksaan di Mesir” dimaksudkan sebagai bahan perbandingan bagi pemerhati hukum sekaligus bisa jadi pertimbangan pengambil kebijakan dalam melihat posisi kejaksaan dalam proses penegakan hukum dalam rangka mewujudkan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Mesir dikenal salah satu negara lahirnya peradaban kuno bukan hanya saja Raja Menes 1350 SM, Firaun, Semit dikuasai asing Bizantium, Romawi, Kesultanan islam Amr Bin As, Turki Ottoman, Napoleon Bonaparte dari Perancis, Inggris, hingga terbentuk republik di bawah Gamal Abdul Nasser sampai sekarang. Sejarah panjang mesir yang dikuasai oleh pihak asing dari eropa, turki, dan arab tentu sangat mempengaruhi juga sistem hukumnya sampai sekarang.

Peran Penting Kejaksaan di Mesir 

Proses penegakan hukum di Mesir didasarkan pada KUHAP Mesir Nomor 150 Tahun 1950 serta amandemen Nomor 189 Tahun 2020 yang mengatur semenjak pelaporan peristiwa pidana, proses penyelidikan, penyidikan, upaya paksa penangkapan, penyitaan, penahanan, penggeledahan melimpahkan perkara ke pengadilan sampai proses pembuktian dan langkah hukum lainnya. Sepintas KUHAP di Mesir tidak jauh berbeda dengan Het Herziene Inlands Reglement yang diperlakukan Belanda di Indonesia karena Mesir dan Belanda sama sama pernah dijajah Napoleon dari Perancis.

Menurut KUHAP Mesir, Penyelidik disebut dengan Petugas Polisi Yudisial (Ma’mur Adhabti Alqadai) bertugas mencari kejahatan dan pelaku, mengumpulkan bukti yang diperlukan untuk penyidikan dan penuntutan. Sementara itu terkait penyidikan perkara pidana (mubasyarah addakwah aljinaiyah) menjadi kewenangan penuh Kejaksaan yang dapat dilaksanakan oleh siapa saja jaksa sesuai ketentuan undang undang. Petugas Polisi Yudisial tidak terbatas kepada petugas kepolisian namun termasuk anggota Kejaksaan Negeri, Kepala Kantor Polisi, Walikota, Kepala Desa, Kepala Penjaga Desa, Pengawas dan Agen Stasiun Kereta Api Pemerintah. Pelaksanaan tugas polisi yudisial juga dapat dilakukan oleh Direktur Keamanan Provinsi dan Inspektur Badan Inspeksi Umum pada Kementerian Dalam Negeri di wilayah yurisdiksinya, Direktur dan pejabat Departemen Investigasi Umum pada Kementerian Dalam Negeri dan cabang-cabangnya di Direktorat Keamanan. Direktur Departemen dan Bagian, Kepala Kantor, Inspektur, Petugas, Sekretaris Polisi, Polisi, Asisten dan Penyidik ​​Polisi Wanita yang bekerja di Dinas Keamanan Publik dan di Divisi Investigasi Kriminal Direktorat Keamanan. Kemudian Petugas Layanan Penjara. Direktur Jenderal Perkeretaapian, Transportasi dan Komunikasi Kepolisian, Komandan dan perwira Korps Polisi Unta Dasar, serta Inspektur Kementerian Pariwisata.

Kedudukan Polisi Yudisial selaku penyelidik di Mesir berada dibawah dan tunduk pada Jaksa Penuntut Umum selaku penyidik (muhaqqiq) sehingga kejaksaan berwenang penuh mengawasi semua tindakan penyelidik dalam bertugas. Bahkan Jaksa Penuntut umum selaku Penyidik dapat meminta pihak yang berwenang untuk memeriksa perkara seseorang yang melanggar tugas atau melalaikan pekerjaannya dan dapat meminta agar orang tersebut dikenakan tindakan disiplin tanpa menghalangi pengajuan tuntutan secara pidana. 

Dalam melaksanakan tugas, Petugas Polisi Yustisial berkewajiban menerima laporan dan pengaduan yang terkait adanya tindak pidana dan segera mengirimkannya kepada Kejaksaan. Karena itu Petugas Polisi Yustisial harus melakukan penyelidikan yang diperlukan, mengklarifikasi atas fakta yang dilaporkan serta melakukan semua tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjaga bukti kejahatan. Semua tindakan Petugas Polisi Yudisial diharuskan tertuang dalam risalah yang ditandatangani oleh Petugas Polisi Yustisial dengan mencantumkan waktu, tempat pelaksanaan tindakan termasuk ditandatangani oleh  saksi dan ahli yang didengar yang kemudian harus dikirim ke Kejaksaan bersama surat-surat dan barang-barang yang disita. Petugas Polisi Yustisial selama pengumpulan bukti dapat mendengar pernyataan orang-orang yang memiliki informasi tentang fakta pidana dan pelakunya, dan dapat menanyakan hal ini kepada terdakwa. Mereka juga dapat meminta bantuan dokter dan ahli lainnya serta meminta pendapat mereka secara lisan atau tertulis. Pengambilan sumpah sebagai saksi atau ahli hanya dimungkinkan oleh Petugas Polisi Yustisial sepanjang ada kekhawatiran bahwa kesaksian di bawah sumpah tidak akan dapat didengar nantinya di pengadilan.

Dalam melakukan penyelidikan dibawah pengawasan kejaksaan selaku Penyidik maka Petugas Polisi Yustisial juga berkewajiban mendatangi tempat kejadian palaku yang tertangkap tangan. Kriteria tertangkap tangan di Mesir pun tidak jauh beda dengan Indonesia berupa kondisi berupa korban mengikuti pelaku, atau apabila masyarakat mengikuti pelaku dengan berteriak-teriak setelah tindak pidana terjadi atau pelaku ditemukan segera setelah tindak pidana terjadi dengan membawa perkakas, senjata, barang bawaan, surat-surat atau barang-barang lain yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah pelaku atau kaki tangan pelaku atau apabila pada saat itu ditemukan jejak-jejak atau tanda-tanda yang menunjukkan terjadinya kejahatan. Sesampainya di tempat kejadian tertangkap tangan, Petugas Polisi Yustisial wajib memeriksa tanda-tanda fisik tindak pidana, mengamankan, mencatat keadaan tempat dan orang, serta segala sesuatu yang berguna untuk mengungkap kebenaran, dan mendengar keterangan orang-orang yang hadir atau yang dapat dimintai keterangan mengenai kejadian dan pelakunya dan wajib segera memberitahukan kepada Kejaksaan Umum selaku Penyidik.

Dalam tindakan penangkapan maka Pejabat Polisi Yustisi dapat melakukan sepanjang kejahatan diancam pidana penjara lebih tiga bulan serta cukup bukti untuk mendakwanya. Penangkapan termasuk penahanan dapat dilakukan apabila tersangka dalam waktu tertentu tidak tidak hadir untuk diperiksa. Bahkan Pejabat Polisi Yustisial dalam hal terdapat cukup bukti kasus pencurian, penipuan, penganiayaan berat dan perlawanan dengan kekerasan terhadap pegawai negeri dapat melakukan tindakan pencegahan berupa penangkapan dengan meminta terlebih dahulu surat perintah penangkapan kepada kejaksaan selaku penyidik. Penangkapan harus diiringi dengan permintaan keterangan oleh Petugas Polisi Yustisial dimana dalam waktu dua puluh empat jam wajib diserahkan kepada Kejaksaan. Kejaksaan juga melakukan interogasi  untuk menentukan apakah tersangka sudah ditangkap secara benar dengan waktu pemeriksaan dalam dua puluh empat jam  menentukan pelaku tetap ditangkap atau dibebaskan. Bahkan lebih jauh setiap orang yang mengetahui penangkapan tidak sesuai aturan wajib memberitahukan kepada kejaksaan. 

Hal menarik lainnya adalah kewenangan Kejaksaan bersama wakil kepala pengadilan mengunjungi penjara untuk memastikan tidak ada  tahanan ilegal. Sebaliknya narapidana dapat melapor kepada kepala penjara untuk wajib disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum bila ada indikasi penahanan ilegal yang harus dilakukan penyidikan oleh Jaksa. Begitu juga terkait penyitaan yang dilakukan oleh Petugas Polisi Yustisial wajib dilaporkan pelaksanaannya kepada Kejaksaan.  Dalam hal Praperadilan atas penyitaan maka pihak yang berhak mengajukan kepada Kejaksaan bukan kepada Petugas Polisi Yustisial untuk selanjutnya diteruskan ke pengadilan.  

Sesuai maknanya, Dominus Litis, Kejaksaan berwenang penung menalnjtkan perkara ke pengadilan atau menghentikannya. Apabila setelah dilakukan pemeriksaan, Kejaksaan tidak menemukan ada alasan untuk mengajukan perkara ke pengadilan, maka Kejaksaan mengeluarkan surat perintah pengarsipan perkara sekaligus pembebasan terdakwa yang ditahan, kecuali jika ia ditahan karena alasan lain. Surat perintah bahwa tidak ada alasan untuk mengajukan dakwaan dalam tindak pidana kejahatan. Penuntut umum dari Kejaksaan juga berwenang penuh dalam perkara pelanggaran dan kejahatan ringan meminta penunjukan hakim penyidik untuk melakukan penyidikan perkara tertentu. Apabila penyidikan telah selesai, maka hakim penyidik ​​mengirimkan surat-suratnya kepada Jaksa Penuntut Umum. Apabila perkara sudah cukup bukti bila dilanjutkan kepada proses penuntutan di pengadilan merupakan kewenangan penuh dari Kejaksaan Negeri dan perkara pidana tidak dapat diajukan oleh orang lain, kecuali perkara tertentu ditentukan undang-undang. Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *