MADIUN – Sudah hampir satu bulan kematian Afif Maulana, bocah usia 13 tahun, warga Padang, Sumatera Barat, menjadi ulasan media massa dan konsumsi publik. Menarik, lantaran kematian korban, oleh keluarganya, dianggap tidak wajar dan menuding tindakan polisi sebagai penyebabnya.
Jasad korban yang siswa SMP itu pertama kali ditemukan seseorang yang sedang membuang sampah, mengapung di perairan Sungai Batang Kuranji, di sekitar jembatan, pada Ahad (9/6/2024) sekira pukul 11.00.
Polisi setempat (Polda Sumbar) berdalih, kematian korban akibat terjebur ke sungai, karena ketakutan saat dilakukan penghalauan aparat kepolisian, yang bertugas mencegah timbulnya tawuran antar anak muda di lokasi kejadian.
Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) setempat yang dipimpin Indira Suryani, tidak serta merta memercayai kesimpulan polisi atas kematian korban. Indira menduga, korban tewas akibat penyiksaan aparat kepolisian – termasuk 18 remaja lain yang mengalami hal sama tapi selamat – sebelum akhirnya ditemukan di sungai.
“Kami meyakini, proses penyiksaan itu muncul terlebih dahulu mulai dari jembatan dan jalan, kemudian penyiksaan itu berlanjut di Polsek Kuranji. Lanjut lagi di Polda Sumbar, disuruh guling-guling, merayap dan sebagainya,” cetus Indira dalam konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Selasa (2/7/2024).
Sementara Kriminolog UI dan Pengamat Kepolisian, Prof. Adrianus Meliala, yang dikonfirmasi jurnalis secara pesan pendek _whatsapp_, Rabu (3/7/2024), berpendapat tidak terimanya pihak keluarga atas kematian korban, yang dianggap tidak wajar, itu bisa dipahami.
Keluarga korban, menurut Adrianus, tidak percaya bahwa korban tidak saja memperoleh tindakan yang tidak hanya kasar, melainkan juga fatal. Disambungnya, analisa tersebut didasarkan pada kenyataan, bahwa anggota kepolisian (red, yang menangani kasus itu) sudah terbukti berbuat kasar.
“Karena anggota kepolisian sudah terbukti berbuat kasar. Buktinya, sudah belasan (anggota polisi) yang diberikan sanksi etik terkait tindakan kasar. Itu pemikiran logis yang harus diterima kepolisian,” terang Adrianus.
Permasalahannya, lanjut Adrianus, walau pihak kepolisian diduga melakukannya, namun tidak ada bukti yang kuat. Luka-luka pada korban, nilainya, bukanlah luka penganiayaan tapi lebam mayat.
Akan tetapi, sebut Adrianus, bilamana aparat kepolisian memang terbukti melakukan penyiksaan hingga tewasnya korban, maka tidak ada gunanya Polda Sumbar melindungi anggotanya.
Disinggung apa maksud polisi (Polda Sumbar) mencari pihak yang memviralkan video, yang diduga penyiksaan Afif Maulana oleh polisi, Prof. Adrianus Meliala, menyatakan karena narasinya sudah berbau kebencian kepada polisi. (fin)