Amuntai -Lativi News
Kegiatan Focus Group Discussion,(FGD) diselenggarakan di Aula Kantor Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Rabu (07/03/24).
Acara FGD secara langsung dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi(Kejati ) Kalsel ,para asisten Kejati Kalsel dan Kepala Kejaksaan Negeri Se -Kalsel serta seluruh Kejaksaan Negeri se-Kalimantan Selatan secara daring.
Sebagai narasumber Prof. Dr. Misfansyah, SH.MH (Guru Besar Hukum Pidana UNLAM) bersama M. Irsan Arief, S.H,M.H Jaksa Akhli Madya Pada Badiklat Kejaksaan Agung RI.
FGD merupakan bentuk wawancara semi-terstruktur dengan fokus pada topik yang telah ditetapkan sebelumnya dan dipandu oleh seorang moderator ahli. Dalam konteks penelitian kualitatif pada ilmu sosial,
jenis diskusi ini dapat diselenggarakan sesuai dengan kesepakatan atau berkaitan dengan pengembangan
produk. Proses dimulai dengan pertanyaan dari moderator, diikuti oleh tanggapan dan diskusi antar peserta.
Moderator memiliki peran kunci dalam memastikan terciptanya diskusi yang produktif dan pengumpulan
opini maksimal dalam batas waktu tertentu. Keseluruhan diskusi dirancang dengan suasana santai sehingga
mampu memberikan setiap peserta ruang untuk menyampaikan pendapat tanpa merasa tertekan.
Diterangkan oleh KasI Penkum Kejati Kalsel Yuni Priyono SH MH dalam siaran Persnya, bahwa FGD yang diselenggarakan di Kejari HSU ini mengambil tema “Perspektif Jaksa Penuntut Umum(JPU) dalam Pelaksanaan Undang-Undang ( UU) No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP” pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia”.
Dalam rangka pembangunan hukum nasional, Indonesia melakukan pembaruan KUHP Kolonial dengan
menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
selanjutnya kita sebut dengan KUHP Nasional. Proses pembaruan sistem hukum pidana melalui KUHP
Nasional sejatinya bukanlah suatu yang tiba-tiba turun dari langit, melainkan melalui proses yang sangat
panjang sejak tahun 1958 dan akhirnya diundangkan pada 2 Januari 2023, yang akan berlaku efektif setelah 3 tahun diundangkan atau pada 2 Januari 2026.
Hadirnya KUHP Nasional membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan hukum pidana di Indonesia. Visi reformasi KUHP nasional adalah mewujudkan hukum pidana nasional NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat
beradab serta hak-hak asasi manusia untuk menggantikan Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHP
warisan kolonial. Sedangkan misi KUHP Nasional mengandung makna dekolonialisasi berupa rekodifikasi
terbuka yang bersifat sistemik, dan bukan bersifat fragmentaris. Kemudian seiring perkembangan dan perjalanan sejarah bangsa, pada akhirnya KUHP Nasional mengandung misi yang lebih luas. Adapun misi kedua dari KUHP Nasional adalah “demokratisasi hukum pidana”. Misi ketiga adalah misi “konsolidasi hukum pidana” karena sejak kemerdekaan, perundang-undangan hukum pidana mengalami perkembangan yang pesat, baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan berbagai
kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum pidana yang diatur dalam
Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu, penyusunan KUHP Nasional dilakukan atas
dasar misi keempat yaitu adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi,
baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai,
standar, dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia internasional.
(MN)n