Riyadh, Menarik merenungi apa yang disampaikan oleh mantan presiden keempat Republik Indonesia almarhum KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur sebagaimana dikuti dalam sebuah akun tiktok “Islam itu datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita, jadi budaya arab, bukan dari aku jadi ana, sampean jadi antum, sedulur jadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya bukan budaya arabnya”. Pernyataan Gus Dur sangat relevan dengan perkembangan jaman sekarang terkait pengaruh luar negeri yang mulai merubah pelan pelan budaya Indonesia baik yang berasal dari budaya arab, budaya barat termasuk budaya korea dan china yang berbeda dengan budaya Indonesia.
Apa yang dinyatakan Gus Dur dengan menukilkan budaya arab memang tanpa alasan karena Gus Dur tercatat pernah mendapatkan pendidikan di arab seperti Univ Al Azhar Cairo Mesir, Universitas Baghdad Irak yang tentu sudah memahami bagaimana budaya yang ada di arab itu sendiri dan mana budaya yang memiliki nilai islamnya. Pandangan Gus Dur tambah lengkap karena memiliki rekam jejak kuliah di negeri barat seperti di Laiden Belanda, Jerman, Perancis sehingga apa yang dilontarkan Gus Dur sudah didasari pengalaman bagaimana bermacam budaya di luar negeri.
Penulis membatasi diri dalam tulisan ini menganalisa terkait masalah berpakaian kebanyakan warga negara Indonesia yang memang berada di luar negeri, atau kembali dari luar negeri bahkan hanya mengetahui budaya berpakaian orang luar dari wisatawan ke Indonesia termasuk melihat trend di berbagai media. Budaya berpakaian arab identik dengan pakaian gamis yang di arab disebut top untuk laki laki, abaya untuk perempuan, sementara pakaian barat cendrung serba minim baik celana maupun baju bahkan tidak jarang terlihat seperti pakaian tidur atau pakaian di pantai saja.
Terkait pakaian sekitar arab sendiri sebenarnya tidak sama antara masing masing negara seperti Mesir, Yaman, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, Qatar, nagara seputar Syam termasuk negara Pakistan, Afganistan, Bangladesh, India termasuk Afrika yang terlihat keberagaman di kota Mekkah dan Madinah. Namun ada kesamaan pakaian mereka yaitu mengutamakan pakaian yang menutup aurat bagi laki laki dan perempuan sesuai ajaran Islam. Sementara pakaian dari barat cenderung serba minim dan terbuka aurat yang tidak sesuai menurut ajaran islam.
Realitas cara berpakaian kedua pengelompokan ini telah merambah sampai ke perkampungan di Indonesia misalnya terlihat ketika lebaran dimana perantau ada laki laki biar dibilang orang kota berpakaian celana pendek diatas lutut yang terbuka aurat begitu juga perempuan mulai berani berpakaian lengan pendek transparan. Disisi lain yang berbau arab juga dengan percaya diri apalagi yang pernah melaksanakan haji / umrah untuk memakai sorban, gamis/abaya ke masjid atau aktifitas selama lebaran sebagai simbol telah haji dan dipanggil “Pak/Buk Haji” padahal pakaian gamis /abaya dimaksud di arab adalah pakaian sehari-hari yang dibawa kemanapun termasuk di pasar dan lainnya dan bukan pakaian untuk khusus ibadah.
Berbicara tentang berpakaian islam memang membatasi yaitu untuk perempuan memanjangkan jilbabnya sampai ke dada, tidak memperlihatkan lekuk tubuh dan laki laki menutup aurat antara pusar dan lutut, sebagian pendapat melarang isbal (pakaian dibawah lutut). Belum ada penulis menemukan literatur pakaian terbaik untuk islam adalah pakaian gamis, pakai sorban seperti pakaian nabi di arab. Di arab ada kecendrungan perempuan memakai pakaian yang menjulur sampai ke tanah seperti pakaian abaya yang bila dilihat sangat potensial terkena najis karena dibawa kemana mana dan kemudian dibawa untuk shalat. Benar ada pendapat sebagian ulama di arab yang menganggap pakaian yang terkena najis itu tetap suci karena berada di tanah suci namun tentu untuk kita di Indonesia perlu berhati hati hal bila dibawa untuk shalat apalagi kita berada di Indonesia dengan perbedaan mazhab ulama dan tanahnya tidak dianggap suci seperti arab.
Berpakaian menurut budaya barat khususnya yang terbuka aurat tentu kita selaku muslim sepakat hal ini bukanlah budaya Indonesia terutama muslim yang menjunjung tinggi nilai nilai islam. Sementara terkait pakaian budaya arab tentu perlu juga kita renungkan pesan Gus Dur apakah pakaian gamis, sorban segala macam itu ajaran islam atau budaya arab sehingga tidak salah kaprah.
Diplomasi Batik di Luar Negeri
Penulis mengapresiasi kebijakan para travel umrah dan haji Indonesia dimana jamaahnya berpakaian batik, sebagian pakai sarung dan peci nasional sehingga gampang untuk dikenali jamaah lain sebagaimana dilakukan jamaah lain yang percaya diri memakai pakaian asli budaya mereka di tanah arab. Hal itu juga yang penulis rasakan ketika memakai batik dan peci hitam ke babarapa kantor pemerintah di arab saudi yang langsung dipanggil hangat “Indonesia”.
Beribcara tentang diplomasi maka sesuai dengan pengertian dalam wikipedia yang merupakan serapan bahasa Belanda diplomatie adalah praktik memengaruhi keputusan dan perilaku pemerintah asing atau organisasi antar pemerintah melalui dialog, negosiasi, dan cara non-kekerasan lainnya.
Bila kita perhatikan dalam pelaksanaan shalat Jumat bersama perwakilan berbagai negara, hampir semua jamaah tampil menggunakan pakaian sesuai budaya mereka termasuk dari barat memakai celana jeans, kaos oblong, topi khas Azerbaijan, termasuk dari afrika dengan pakaian warna mencolok mereka. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat misalnya orang Pakistan atau Afganistan akan selalu memakai pakaian khas mereka baju koko panjang bercelana kemanapun. Dari sini terlihat bahwa mereka sedang melaksanakan diplomasi budaya mereka sendiri di luar negeri. Pemakaian gamis atau top hanya sesekali dipakai sebagai penghormatan terhadap pakaian khas setempat.
Bagi Indonesia pakaian batik merupakan salah satu pakaian nasional Indonesia yang sudah ditetapkan oleh UNESCO tanggal 2 Oktober 2021 menjadi warisan budaya dunia dan di Indonesia tanggal tersebut diperingati hari batik nasional bukan karena coraknya saja namun karena telah diwariskan turun temurun dengan falsafah budaya lokal indonesia. Kita ketahui bahwa corak batik tidak hanya sebagai tradisi yang berkembang di tanah jawa namun ada di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai sebutan sesuai tradisi daerahnya seperti batik sasiringan di banjarmasin, corak burung cendrawasih di papua dan lainnya.
Begitu tingginya nilai pakaian batik maka sudah saatnya pakaian bermotif batik begitu juga memakai kain sarung untuk shalat, kupiah hitam menjadi budaya yang tetap kita lestarikan di luar negeri seperti yang telah dilakukan oleh jamaah umrah. Begitu juga mahasiswa, pekerja di luar negeri sepanjang tidak ada larangan maka sudah saatnya berbangga menjadikan pakaian batik dengan berbagai pola dan model menjadi pakaian sehari hari non formal termasuk untuk melaksanakan ibadah sebagai wujud cinta kepada tanah air dan diplomasi budaya Indonesia ke bangsa lain. Jangan justru kita enggan dengan budaya sendiri dan bangga dengan budaya luar yang belum tentu cocok dengan budaya dan karakter kita bangsa Indonesia.
Sumber :
Dr. Erianto N. SH.MH / Atase Hukum KBRI Riyadh