JAKARTA (27/9/2024) – Sejumlah lembaga masyarakat, tokoh, akademisi, dan praktisi yang tergabung dalam Tim Advokasi Tolak Tambang mengadakan diskusi Webinar yang bertajuk “Menolak Suap Tambang untuk Ormas Keagamaan.” Webinar ini juga dilaksanakan dalam rangka memperingati hari pertambangan dan energi, yang berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2008, jatuh pada Sabtu, 28 September 2024.
Dalam kesempatan tersebut, Tim Advokasi menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakannya diskusi adalah sebagai bentuk perlawanan atas diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 25/2024) yang memberikan konsesi tambang secara prioritas kepada organisasi keagamaan.
Selain itu, diskusi tersebut menjadi kick off agenda perlawanan utama yakni pengajuan Permohonan Hak Uji Materiil (HUM) atas PP 25/2024 ke Mahkamah Agung yang rencana akan diajukan pada hari Selasa tanggal 1 Oktober 2024, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Dalam mengajukan Permohonan HUM, Tim Advokasi Tolak Tambang mewakili sebanyak 16 (enam belas) Pemohon, yang terdiri dari 6 (enam) kelembagaan, dan 10 (sepuluh) Perorangan, yaitu:
- Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional.
- Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional.
- Tren Asia.
- Perserikatan Solidaritas Perempuan.
- Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah.
- Lembaga Naladwipa Instutute for Social and Cultural Studies.
- Asman Aziz – Wakil Sekretaris Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU)Provinsi Kalimantan Timur.
- Buyung Marajo – Koordinator Forum Himpunan Kelompok Kerja-30 (FH Pokja 30).
- Dwi Putra Kurniawan, S.E. – Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia KalimantanSelatan.
- Inayah Wahid – Warga Masyarakat Peduli Lingkungan.
- Kisworo Dwi Cahyono, S.P., S.H. – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(WALHI) Kalimantan Selatan.
- Mareta Sari – Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur.
- Rika Iffati Farihah – Wakil Ketua I Pengurus Pimpinan Wilayah Fatayat Nahdlatul UlamaProvinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Sanaullaili – anggota Bidang IV Kajian Politik Sumber Daya Alam, Lembaga Hikmah, danKebijakan Publik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
- Siti Maemunah – Anggota Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang Nasional.
- Wahyu Agung Perdana – Kepala Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmahdan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pada sesi diskusi ini, Tim Advokasi menghadirkan 5 (lima) narasumber sekaligus, diantaranya Hema Situmorang perwakilan dari Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAM), Mareta Sari perwakilan dari Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK) yang juga berperan sebagai Para Pemohon dalam gugatan HUM tersebut, Wasingatu Zakiyah dan Muhammad Isnur selaku kuasa hukum Para Pemohon, serta Herlambang Perdana Wiratraman selaku ahli dari Para Pemohon.
Mengawali diskusi, Wasingatu Zakiyah menyebutkan bahwa pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan yang didasarkan pada Pasal 83A PP 25/2024 jelas-jelas bertentangan dengan aturan yang diatasnya, yakni Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
“Jika melihat Pasal 83A PP 25/2024, IUPK diberikan secara prioritas oleh pemerintah ke ormas keagamaan. Sedangkan Pasal 75 ayat 3 dan 4 UU 3/2020 mengatur mekanisme lelang untuk pemberian IUPK bagi selain BUMN dan BUMD . Karenanya, setiap IUPK yang diterbitkan atas dasar Pasal 83A PP25/2024 dan diperuntukkan bagi ormas adalah cacat hukum,” ungkap Zaki yang juga warga NU dan penasihat dari Publish What You Pay.
Zaki menambahkan jika melihat situasi saat ini dimana sudah ada 2 (dua) ormas keagamaan yang setuju menerima izin tambang tersebut, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sebelumnya kedua ormas tersebut telah sangat berperan aktif mengadvokasi kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam. Sebut saja NU dalam Muktamar ke-34 yang mengeluarkan rekomendasi meminta pemerintah untuk fokus dan secara serius mengambil langkah-langkah mengurangi deforestasi menjadi nol hektar pada tahun 2023 dan mengakselerasi transisi ke energi terbarukan.
Selain itu, Muhammadiyah juga telah sejak lama bergerak di bidang advokasi lingkungan hidup, salah satunya dengan membentuk Majelis Lingkungan Hidup dan Muhammadiyah Climate Center, serta menerbitkan buku yang berjudul “Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam.”
Merespon Zaki, Muhamad Isnur menyinggung soal buruknya kebijakan pemerintah soal pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan.
“Kalau kita lihat dan pelajari, apa yang dimaksud dengan ormas keagamaan? Itu tidak ditemukan penjelasannya dalam PP 25/2024. Bahkan dalam UU Ormas pun tidak diatur definisinya sehingga menjadi bias dan sangat tidak jelas dari segi peraturan. Belum lagi terkait tambang, Indonesia turut berkomitmen secara internasional untuk mulai meninggalkan kegiatan-kegiatan ekstraktif yang merusak lingkungan, seperti pertambangan batu bara, dan lainnya. Bahkan forum dunia mengakui batubara adalah sumber daya paling kotor dan “haram”. Maka, sangat aneh rasanya jika pemerintah terus memberikan izin tambang secara cuma-cuma, terlebih untuk ormas keagamaan yang secara aturan yang lebih tinggi saja tidak jelas,” pungkas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tersebut.
Pembicara selanjutnya, Herlambang Perdana Wiratraman menerangkan soal potensi dampak kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial akibat diberikannya izin tambang bagi ormas keagamaan, serta kemungkinan melanggengkannya konflik-konflik sosial yang akan terjadi di kemudian hari.
“Pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan tentu lebih besar keburukan ketimbang manfaatnya. Ormas keagamaan akan diseret ke bisnis pertambangan yang merusak lingkungan. Padahal, lingkungan hidup yang bersih dan sehat merupakan keadaaan yang semestinya dijaga dan dilestarikan, terkhusus oleh ormas keagamaan tersebut yang tentunya berpangku pada kitab- kitab ajaran agama masing-masing. Ormas keagamaan semestinya tidak boleh memikirkan kepentingan ormasnya saja, melainkan harus juga memikirkan dan menyiapkan lingkungan yang bersih dan sehat untuk generasi mendatang (intergenerational equity),” tegas Herlambang yang juga Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada ini.
Sementara itu dari kalangan Pemohon yang diwakili oleh Hema Situmorang selaku Pengkampanye JATAMNAS mengungkap soal kerugian dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekstraktif pertambangan ini. Ia menegaskan sampai saat ini, belum ada sama sekali kegiatan pertambangan yang tidak mengakibatkan kerugian dan kerusakan lingkungan.
“Saya pernah lama di Kalimantan Timur dan JATAM sudah banyak sekali kali mengadvokasi kasus-kasus tambang. Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan adalah melihat bagaimana kegiatan pertambangan benar-benar merusak lingkungan. Bayangkan, untuk mencari 1 gram emas saja, kita membutuhkan lebih dari 100 liter air. Dampaknya tentu warga di sekitar lingkungan tambang sangat sulit untuk mendapatkan air bersih karena akan dikooptasi oleh perusahaan tambang. Bahkan hasilnya pun tidak jarang akan mencemari air tersebut. Bukan hanya itu, kegiatan pertambangan juga seringkali menimbulkan gas beracun yang membuat udara disekitarnya tidak sehat,” jelas Hema.
Sejalan dengan Hema, sebagai salah satu Pemohon yang merupakan warga asli Kalimantan Timur, Mareta Sari menerangkan ia menyaksikan langsung bagaimana kegiatan pertambangan telah mengakibatkan banyak kerugian bagi kampung halamannya.
“Dampak dari adanya kegiatan pertambangan ini telah mengakibatkan pencemaran lingkungan, khususnya sumber air bersih bagi kampung-kampung yang tidak jauh letaknya dari tambang. Jika warga berusaha menolak tambang dan memprotes kegiatannya, tidak jarang mereka akan dikriminalisasi. Tidak hanya itu, tambang juga memicu konflik sosial di masyarakat dan keikutsertaan ormas keagamaan dalam kegiatan tambang hanya akan memperburuk hal tersebut. Sebut saja jika sebelumnya saya yang menolak tambang berhadapan dengan aparat dan pejabat ESDM, kali ini saya harus berhadapan dengan tetangga saya yang merupakan anggota dari ormas keagamaan tersebut. Karena itu, dengan diberikannya izin pertambangan kepada ormas keagamaan, maka bukan tidak mungkin konflik agraria yang disertai dengan kriminalisasi akan sering terjadi dan semakin menjadi rumit,” tutup Mareta.
Pada akhirnya, Tim Advokasi Tolak Tambang menginginkan ormas keagamaan tidak ikut serta terlibat dalam kegiatan bisnis pertambangan dan berharap dapat kembali kepada tujuan semula masing-masing ormas, yakni untuk mensejahterakan ummat-nya melalui bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
(Tim Advokasi Tolak Tambang)