Beberapa hari terakhir media cetak atau elektronik termasuk media sosial dipenuhi oleh pemberitaan persetujuan DPRD dan Pemerintah DKI Jakarta untuk memberikan dana hibah kepada Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi kubu Abraham Lunggana atau Haji Lulung sebesar tiga miliar rupiah Tahun 2022 mendatang serta Bamus Suku Betawi 1982 yang diasuh Zainuddin atau Bang Oding sebesar satu koma dua miliar rupiah dengan tujuan melestarikan budaya Betawi menjadi kekuatan luar biasa di DKI Jakarta yan menuai pro dan kontra.
Hibah baik berupa barang ataupun dana dari pemerintah pusat atau daerah memang kedengaran sangat menggembirakan dan menyenangkan bagi penerimanya yang berbentuk lembaga ataupun organisasi kemasyarakatan.
Kegembiraan tersebut terkadang membuat penerima lupa diri dan merasa sudah jadi milik mereka yang bisa digunakan sesuai keinginan anggota kelompok ditambah dengan kondisi kelonggaran bahkan seolah olah tidak ada kontrol yang jelas dari penanggungjawab pengelolaan dana hibah di pemerintahan.
Di sisi lain Hibah di pemerintahan menjadi ajang politisasi baik oleh kepala daerah maupun anggota legislatif yang menyatakan “ini aspirasi saya” padahal semua ketentuan pengelolaan dana hibah sangat jelas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku umum sehingga semua punya kesempatan sepanjang memenuhi kriteria yang ditentukan namun sengaja dibuat kabur, tertutup sehingga hanya diketahui kalangan tertentu saja dan akhirnya tidak sedikit yang berujung petaka.
Kasus hibah berujung korupsi yang sedang hangat diberitakan adalah pemberian hibah untuk pembangunan Mesjid Sriwijaya Sumatera Selatan sebesar seratus tiga puluh miliar rupiah yang diungkap oleh jajaran Penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dengan kerugian keuangan negara seratus tiga belas miliar rupiah.
Kasus ini sementara sudah menyeret sembilan orang termasuk Alex Nurdin legislator partai golkar di senayan yang saat peristiwa terjadi selaku Gubernur Sumatera Selatan yang menyetujui pencairan dana pada tahun 2015 dan tahun 2017 silam yang sebelumnya telah ditersangkakan oleh Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung dalam perkara lain.
Merujuk pemberitaan media masa yang beredar merujuk proses persidangan sebagian tersangka yang sudah dinyatakan terbukti bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang banyak ditemukan keganjilan dalam hibah sejak pengajuan sampai pencairan seperti tidak ada proposal pemohon, status lahan penggunaan dana pembangunan mesjid belum jelas dan ternyata dana yang diterima oleh yayasan wakaf mesjid sriwijaya jadi bancakan yang mengalir ke kantong kantong pribadi termasuk pihak oknum Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
Masih Terkait Hibah, beberapa tahun silam sekitar 2012 dan tahun 2013 publik juga dikejutkan dengan kasus korupsi yang mengakibatkan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho harus merasakan dinginnya sel penjara dalam kegiatan belanja hibah dan bantuan sosial Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan kerugian keuangan negara satu milyar seratus empat puluh lima juta rupiah dimana dalam pelaksanaannya tidak ada evaluasi dan verifikasi sebanyak 190 usulan penerima Hibah secara benar sehingga ada penerima hibah alamatnya fiktif atau tidak memenuhi kualifikasi penerima hibah.
Apabila ditelusuri lebih lanjut sudah banyak yang terseret oleh dana hibah di berbagai daerah termasuk mungkin di sekitar kita sendiri ada dana hibah yang tidak jelas penggunaannya, tidak tepat sasaran, terjadi pemotongan, ternak yang diberikan sangat tidak layak, penggunaan asal asalan sehingga tidak bisa dimanfaatkan maksimal, masuk ke kantong pribadi dan lain sebagainya yang kebetulan masih beruntung tidak diungkap penegak hukum.
Prinsip Penggunaan Keuangan Negara / Daerah
Dalam penggunaan keuangan negara termasuk daerah ada beberapa prinsip antara lain yang sering disampaikan oleh Drs. Siswo Sujanto, DEA selaku ahli keuangan negara dalam berbagai perkara tindak pidana korupsi dari Pusat Kajian Keuangan Negara dan Daerah pada Universitas Patria Artha Makasar yang dijadikan salah satu dasar analisa penuntut umum dalam mengajukan tuntutan serta telah dimasukkan dalam berbagai pertimbangan majelis hakim tindak pidana korupsi.
Prinsip yang juga sangat jelas diatur dalam beberapa ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait verifikasi keuangan dimana semua yang berasal dari uang negara / daerah yang dianggarkan dalam APBN / APBD terikat kepada tiga hal yaitu: Pertama, Wetmatigheid yaitu salah satu syarat sahnya suatu tagihan pembayaran yang mempunyai dasar hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, Rechtmatigheid dimana salah satu syarat sahnya tagihan/pembayaran yang menyatakan bahwa hak atas tagihan telah dibuktikan dan kewajiban telah dilaksanakan oleh yang berhak atas tagihan tersebut sesuai dengan batas wewenang dan hak yang diperoleh dan ketiga Doelmatigheid berupa salah satu syarat sahnya suatu tagihan/pembayaran yaitu sesuai dengan tujuan dan sasaran yang direncanakan dalam program yang telah ditetapkan sebelumnya.
Prinsip kehati-hatian dalam penggunaan keuangan negara juga terlihat dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara menegaskan bahwa bendahara umum negara bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut yang sejalan dengan penegasan dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang menegaskan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
Pedoman Dana Hibah Daerah
Terkait hibah baik berupa dana atau dalam bentuk fisik seperti ternak, peralatan pertanian, pertukangan, alat nelayan dan lain lain yang bersumber dari dana pemerintah maka sesuai dengan prinsip wetmatigheid, rechtmatigheid dan doelmatigheid yang sejalan dengan asas legalitas sudah dipastikan terdapat pengaturan dalam perundang-undangan. Meski dalam pengaturan bisa saja belum sempurna dan menjadi peluang untuk penyimpangan namun secara umum pengaturan bertujuan agar hibah yang diberikan menjadi tepat sasaran, bermanfaat dan menghindari terjadinya penyimpangan.
Dalam tataran dana yang berasal dari daerah tentu yang menjadi dasar adalah Undang-Undang Pemerintah Daerah 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang meskipun tidak secara rinci mengatur terkait dana hibah namun cukup memberikan payung untuk pengaturan lebih lanjut dengan mendelegasikan pengaturan mengenai penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban melalui peraturan pemerintah antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 02 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah yang menegaskan Hibah dari pemerintah daerah dilaksanakan sesuai dengan asas pengelolaan keuangan daerah secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Terhadap dana yang bersumber dari APBN Pusat biasa diatur lebih detil dalam peraturan kementerian terkait baik berupa peraturan menteri, surat edaran menteri, dirjen dan lainnya termasuk surat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan kegiatan yang secara hukum memiliki kekuatan sebagai peraturan perundang-undangan karena ada pendelegasian dari aturan yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.
Sementara terhadap dana yang berasal dari APBD biasanya terikat dengan peraturan menteri dalam negeri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Bersumber Dari APBD yang mengatur antara lain adanya usulan tertulis pemohon hibah, Penerima hibah bertanggungjawab secara formal dan material atas penggunaan hibah yang diterimanya termasuk hal hal detil lainnya yang diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah.
Terkait hibah kepada badan dan lembaga diberikan kepada badan dan lembaga yang bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan atau telah memiliki surat keterangan terdaftar yang diterbitkan oleh menteri, gubernur atau bupati/wali kota atau atau bersifat sosial kemasyarakatan berupa kelompok masyarakat/kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan keberadaannya diakui oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah melalui pengesahan atau penetapan dari pimpinan instansi vertikal atau kepala satuan kerja perangkat daerah terkait sesuai dengan kewenangannya termasuk kepada Koperasi yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pada Provinsi Kalimantan Tengah terkait hibah diatur dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 16 tahun 2021 (sudah merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020) Tentang Perubahan Kedua Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2017 (masih merujuk kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 yang dicabut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020) Tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan dan Penatausahaan, Pertanggugjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi Hibah dan Bantuan Sosial.
Pengaturan Gubernur yang merupakan amanat dari peraturan menteri dalam negeri telah mengatur lebih detil menyangkut kriteria pemberian hibah, persyaratan badan atau lembaga atau organisasi kemasyarakatan penerima hibah, persyaratan pengajuan hibah beserta lampirannya seperti proposal, RAB, dokumen keabsahan lembaga, Pengurus, keterangan domilisi lembaga dan hal tekhnis lainnya yang nanti wajib dilakukan verifikasi oleh pihak penanggung jawab pengelola dana hibah.
Untuk mengikat penerima hibah dari penggunaan sewenang-wenang juga diatur kewajiban untuk menandatangani naskah perjanjian hibah daerah yang meskipun wujudnya bernuansa perdata namun tidak menutup peluang penyimpangan nantinya akan masuk ranah pidana sepanjang memenuhi ketentuan pidana.
Dalam peraturan kepala daerah biasanya juga mengatur tekhnis pelaporan penggunaan hibah, dan kewajiban dari satuan organisasi pelaksana daerah terkait untuk melakukan pengawasan. Terkhusus hibah berwujud dalam bentuk barang seperti buku ajar, alat pertanian, peternakan, nelayan, sarana perdagangan dan lainnya maupun binatang ternak seperti sapi, kambing, babi dan lainnya tentu saja pihak instansi terkait terikat pada ketentuan pedoman pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berlaku umum kecuali ada pengaturan khusus.
Keterbukaan Dan Tanggung Jawab Semua Pihak
Melihat begitu detilnya pengaturan terkait dana hibah, bantuan dan sejenisnya sudah barang tentu dibutuhkan keseriusan dan keterbukaan semua pihak baik dari pihak pemerintah pengelola dana hibah, pihak yang punya akses pada kekuasaan maupun badan, lembaga atau organisasi penerima dana hibah.
Keterbukaan informasi mengenai prosedur dan persyaratan untuk mendapatkan dana hibah sejak dari pengusulan, kebenaran persyaratan, penetapan penerima, verifikasi sebelum pencairan sampai pengawasan dan pelaporan tentu menjadi kunci utama.
Sudah saatnya meninggalkan kongkalikong maupun pengaturan agar dana hibah hanya diterima kelompok tertentu dengan memanfaatkan kewenangan karena jabatannya di pemerintahan atau selaku anggota dewan yang sesumbar mencari nama kepada konstiuennya “ini dana aspirasi saya”, termasuk pemaksaan oknum dewan kepada pemerintah daerah “kalau tidak saya tidak setujui” sehingga tidak jarang badan, lembaga atau organisasi yang sudah mengusulkan secara benar akhirnya tidak berhasil mendapatkan.
Akibat tindakan tidak terpuji oknum-oknum tersebut dana hibah jadi politisasi dan ajang korupsi karena pasti mengharapkan kid back “bagian / jatah preman” dari penerima hibah atau setidaknya mencari nama, pemotongan, termasuk penerima hibah salah sasaran, fiktif, tidak sesuai tujuan dana.
Bagi lembaga atau organisasi penerima hibah sudah seharusnya menggunakan secara maksimal hibah yang diberikan sesuai tujuan karena perlu disadari dana tersebut bukanlah dana pribadi namun bersumber dari uang rakyat banyak.
Begitu juga kita semua selaku masyarakat perlu mengawasi bersama-sama terkait penggunaan dana hibah di lapangan pada lingkungan kita masing masing mengingat begitu banyaknya dana dan terbatasnya pihak yang melakukan pengawasan.
Saatnya memberanikan diri bertanya kepada petugas maupun pihak penerima di lapangan mengenai penggunaan dana tersebut apalagi bila digunakan untuk kepentingan fasilitas umum yang bila tidak tepat justru akan merugikan kita semua. Bila tidak memungkinkan saatnya kita melaporkan kepada pihak penegak hukum atau setidaknya mengungkap ke publik melalui media sosial tentang keganjilan keganjilan yang ditemukan sepanjang dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Jangan salahkan nanti bila nasib seperti yang menimpa Mantan Gubernur Sumatera Utara, Mantan Gubernur Sumatera Selatan maupun ratusan pihak lainnya yang harus merasakan dinginnya sel berjeruji akibat terlibat dalam korupsi dana hibah terjadi di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah Bumi Tambun Bungai apalagi menyedihkan bila kita hanya terlibat penyimpangan ketentuan secara saja dan tidak menikmati hasilnya karena di mata hukum akan dipandang sama sebagai penyertaan atau setidaknya pembantuan, pada sisi lain nama kita sudah terlanjur tercoreng di masyarakat. Wassalam. (Redaksi).