Teks photo: Ilustrasi
Jakarta – Lativi News
Kejaksaan Agung RI menerima pengembalian uang dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan beberapa vendor terkait kasus dugaan korupsi Program Digitalisasi Pendidikan yang berlangsung antara 2019–2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna menyatakan, bahwa memang ada beberapa pengembalian uang, baik dalam bentuk rupiah maupun dolar dari pihak vendor dan juga dari pihak kementerian,jumat(10/10/25).
Menurutnya, pengembalian itu dilakukan karena pihak-pihak terkait diketahui memperoleh keuntungan yang tidak sah dari proyek pengadaan.
Kapuspenkum tidak merinci nominal uang yang dikembalikan, namun membenarkan bahwa jumlahnya mencapai miliaran rupiah,
“Mereka mengembalikan karena ada keuntungan yang tidak sah. Nominal pastinya nanti akan diungkap dalam persidangan,” ucapnya.
“Pengembalian uang tidak menghapus pidana. Tapi tentu akan menjadi catatan bagi penyidik dan jaksa penuntut,” tegasnya .
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Program Digitalisasi Pendidikan yang berlangsung antara 2019–2022.
Selain Nadiem, empat tersangka lain juga ditetapkan, yakni Mulyatsyah (Direktur SMP Kemendikbudristek 2020–2021), Sri Wahyuningsih (Direktur SD 2020–2021), Jurist Tan (mantan staf khusus Mendikbudristek), dan Ibrahim Arief mantan konsultan teknologi Kemendikbudristek).
Selama periode tersebut, Kemendikbudristek melaksanakan proyek pengadaan 1,2 juta unit laptop untuk sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), dengan total anggaran mencapai Rp9,3 triliun. Proyek itu merupakan bagian dari program “Digitalisasi Sekolah” yang digadang untuk mendorong pemerataan akses teknologi pendidikan.
Laptop yang diadakan menggunakan sistem operasi ChromeOS (Chromebook) dengan alasan efisiensi dan keamanan sistem. Namun, kebijakan itu menuai kritik karena perangkat Chromebook dinilai tidak kompatibel dengan banyak aplikasi pembelajaran dan sangat bergantung pada koneksi internet yang stabil—sesuatu yang justru langka di daerah 3T.
Banyak sekolah penerima akhirnya tidak dapat memanfaatkan perangkat tersebut secara maksimal. Sejumlah guru juga mengaku pelatihan penggunaan Chromebook tidak memadai dan perangkatnya sering terkunci karena masalah akun terpusat.
Dalam penyidikan, Kejagung menemukan sebagian besar proyek dijalankan melalui penunjukan langsung kepada sejumlah vendor besar yang menjadi rekanan Kemendikbudristek. Dana proyek mengalir dari pagu APBN ke berbagai kontrak pengadaan perangkat dan software pendidikan, termasuk Content Delivery Management (CDM) yang kemudian diduga fiktif atau digelembungkan nilainya.
Hasil audit memperkirakan kerugian negara mencapai Rp1,98 triliun, terdiri dari mark up harga laptop sebesar Rp1,5 triliun dan penggelembungan biaya software CDM senilai Rp480 miliar.
(MN)